Minggu, 12 Januari 2014

Soal Terorisme, Polri Dinilai Lakukan Standar Ganda Penegakan Hukum


 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dinilai telah melakukan standar ganda dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal itu nampak dari peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang berada di bawah koordinasi Polri.
Selain itu, dengan arogan lemaga itu menyebut teroris orang-orang yang dituduh terlibat dalam tindakan pidana terorisme tanpa perlu melalui proses pembuktian di pengadilan.
Hal ini disampaikan tokoh disabilitas penegak universalitas Hak Asasi Manusia (HAM) Dr Saharuddin Daming.
Mantan anggota komisioner HAM ini menilai, atas sikapnya itu Polri telah melakukan standar ganda dalam penegakan hukum di Indonesia. Padahal, tegasnya, antara terorisme dengan korupsi itu sama sama extra ordinary crime.
Ia kemudian mempertanyakan, sebenarnya di Indonesia ini penting mana memberantas korupsi atau memberantas terorisme. Menurutnya justru sekarang ini yang menjadi momok pembangunan adalah tindakan korupsi. Sehingga korupsi seharusnya mendapat porsi terbesar dari jajaran kepolisian negara.
“Tapi kalau memberantas korupsi kan tidak ada duitnya. Kenapa, karena kalau mendensuskan korupsi itu tidak ada sponsornya. Berbeda dengan terorisme, sponsornya ada. Seksi sekali, jadi ini bukan semata law enforcement. Ini proyek sebetulnya,” kata Saharuddin Daming dalam perbincangan dengan hidayatullah.com, Senin, (06/01/2014).
Jika sudah demikian kondisinya, kata Daming, apakah masyarakat masih bisa berharap pada hukum yang adil yang ingin dicapai.
Ia mengaku sudah bosan bicara asas praduga tak bersalah dan sebagainya karena itu yang paling sering dilanggar oleh polisi yang pada saat yang sama mengklaim menegakkan hukum.
Dari sudut pandang Undang-undang, masalah terorisme seharusnya mengacu kepada UU Nomor 19 tahun 2013 tentang terorisme.
Pada Pasal 1 angka 1 Undang undang tersebut memberikan arti tentang terorisme yang pada dasarnya menyebutkan terorisme adalah merupakan tindakan yang menaku nakuti.
Dengan rumusan seperti itu, jelas Daming, maka apa yang telah dilakukan Densus 88 maupun BNPT bisa juga dianggap sebagai tindak terorisme karena mereka menciptakan ketakutan di mana-mana.
“Saat ini Densus mungkin dielu-elukan. Soal membanggakan itu tergantung dari perspektif orang. Tetapi, dalam konteks kita melihat siapakah sebetulnya yang dikorbankan, maka ruang diskusilah yang seharusnya mengakomodasi masalah ini. Tapi itu tidak ada,” imbuh doktor bidang hukum ini.
Dia menambahkan, saat ini ruang diskusi untuk mengakomodasi suara-suara getir korban stigma terorisasi ini sama sekali tertutup. Karena di mata orang seperti Ansyaad Mbai, Densus 88, BNPT, yang terjadi itu adalah kebencian.
“Bukan lagi sekedar menegakkan hukum. Tetap yang dilakukan adalah membasmi orang yang dianggap sebagai sesuatu yang patut dibenci,” tukasnya.
Masalahnya, tambah Daming, Densus 88 mencoba berlindung di balik legitimasi undang-undang dengan tafsiran yang dibuat sendiri. Pihak lain tidak boleh membuat tafsiran mengenai undang undang itu.
“Jadi yang dihasilkan kemudian adalah tugas negara yang dilandasi dengan kebencian,” imbuh dia.*

Load disqus comments

0 komentar