Rabu, 11 Desember 2013

Ikhtilaf dalam Masalah Ijtihad

Seandainya saja jika dua orang muslim ikhtilaf dalam suatu masalah dan keduanya saling menjahui maka tidaklah tersisa dari umat ini kemaksuman dan persaudaraan
""Perpecahan umat ....merupakan penyebab berkuasanya musuh atas mereka" (ibnu Taimiyah)
SYAIKHUL Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang orang-orang yang bertaklid kepada sebagian ulama dalam masalah ijtihad, apakah harus dingkari dan dijauhi? Beliau menjawab: “Alhamdulillah, dalam masalah-masalah ijtihad, barang siapa mengamalkan pendapat ulama tidak boleh diingkari atau dijauhi. Dan barang siapa mengambil salah satu dari dua pendapat juga tidak boleh dingkari, jika dalam sebuah masalah ada dua pendapat. Apabila seseorang mengetahui ada salah satu dari dua pendapat yang lebih rajih, maka hendaklah ia mengamalkannya, jika tidak maka dibolehkan dia bertaklid terhadap beberapa ulama yang bisa dijadikan rujukan untuk menjelaskan pendapat yang lebih rajih diantara dua pendapat, wallahu’alam.” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 20, hal. 115)
Beliau berkata di tempat lain:”Adapun ikhtilaf dalam permasalahan hukum, bisa lebih banyak lagi. Seandainya saja jika dua orang muslim ikhtilaf dalam suatu masalah dan keduanya saling menjahui maka tidaklah tersisa dari umat ini kemaksuman dan persaudaraan…” (Majmu’ah Al Fatawa, vol. 24, hal 96).
Syaikhul Islam dalam Khilaf Al Ummah fi Al Ibadat wa Madzhab Ahlu As Sunnah juga menyebutkan Imam Ahmad yang berpendapat bahwa membaca basmalah dalam shalat tidak perlu dengan jahr. Akan tetapi beliau membaca basmalah dengan jahr jika shalat di Madinah, karena penduduknya membaca basmalah dengan jahr. Qadhi Abu Yu’la Al Fara’ menjelaskan bahwa Imam Ahmad melakukan hal itu dalam rangka menjaga ukhuwah (Risalah Ulfah, hal. 48).
Larangan Berpecah-Belah
Salah satu penyebab perpecahan umat adalah imtihan (menguji) dengan penisbatan yang tidak berdasarkan nash. Seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah, yaitu dengan mengatakan kepada seseorang:”Kamu Shukaily atau Qarfandi?” Maka jika seseorang ditanya dengan pertanyaan seperti itu, jawabnya adalah:”Saya bukan Shukaili atau Qarfandi, akan tetapi saya muslim yang mengikuti Kitabullah dan sunnah rasul-Nya.”
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas ditanya oleh Muawiyah:”Kamu mengikuti millah Ali atau millah Utsman?” Beliau menjawab: “Saya tidak mengikuti millah Ali ataupun Utsman, akan tetapi saya mengikuti millah Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam.”
Begitu juga tidak diperbolehkan imtihan (menguji) dengan penisbatan yang sudah umum dipakai para ulama, seperti penisbatan kepada Imam (Al Hanafi, Al Maliki, As Syafi’i atau Al Hambali), yaitu dengan mengatakan: “Kamu Hanafi atau Maliki?” Juga penisbatan kepada guru ( Al Qadiri atau Al ‘Adawi), atau qabilah (Al Qaisi atau Al Yamani), atau negeri (Al Iraqi, Al Mishri atau As Syami). Juga tidak boleh berloyalitas atas nama-nama ini dan tidak pula menyakiti mereka yang bernisbah kepadanya. Adapun yang paling muliya di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa, tidak pandang dari thaifah mana pun dia (Lihat, Majmu’ah Fatawa, vol. 3, hal. 255).
Loyalitas Tidak Didasari Atas Penisbatan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah- mengatakan: “Allah telah memberi kabar, bahwa orang mukmin memiliki loyalitas kepada Allah, rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang mukmin. Mukmin di sini bersifat umum, barang siapa beriman maka dia disifati dengan sifat ini. Baik mereka yang menisbahkan diri, atas negeri, madzhab, thariqah atau yang tidak menisbahkan diri. Allah telah berfirman:”Dan laki-laki yang beriman serta perempuan yang berimana, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.”(At Taubah: 71).
Ibnu Taimiyah juga menyebutkan beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Permisalan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih dan sayang atas sesama mereka seperti satu tubuh, jika salah satu dari anggota badan sakit maka seluruh badan ikut demam susah tidur.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 257)
Tawadhu’ Ibnu Taimiyah Kepada Ulama Madzhab Lain
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak hanya cukup berfatwa, lebih dari itu, amalan beliau mencerminkan apa yang beliau katakan. Ibnu Taimiyah tetap bisa bersikap obyektif kepada para ulama lain walaupun mereka berbeda pendapat atau madzhab. Meskipun beliau dalam banyak hal mengambil pendapat Madzhab Hambali akan tetapi beliau memiliki beberapa murid yang bermadzhab lain, seperti Ibnu Katsir (774 H) dan Imam Ad Dzahabi (748 H), keduanya bermadzhab Syafi’i.
Antara Ibnu Taimiyah dan Taqiyuddin As Subki (756 H) yang bermadzhab Syafi’i sering saling mengkritik lewat karya masing-masing, akan tetapi Ibnu Taimiyah tetap memuji karya-karya Taqiyuddin As Subki, dan beliau tidak memberi penghormatan kepada orang lain sebagaimana beliau menghormati Taqiyuddin As Subki (lihat, Tabaqat Asyafi’yah Al Kubra, vol.10, hal. 194).
Yang juga perlu dicontoh dari Ibnu Taimiyah adalah sifat tawadhu’ beliau terhadap ‘Alauddin Al Baji (724 H), salah satu ulama madzhab Syafi’I, mutakallim, yang mempunyai majelis perdebatan. Suatu saat mereka berdua bertemu, dan Al Baji berkata kepada Ibnu Taimiyah: ”Bicaralah, kita membahas permasalahan denganmu.” Akan tetapi Ibnu Taimiyah menjawab:”Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan anda, tugasku adalah mengambil faidah dari anda.” (Tabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, vol. 10, hal. 342)
Nasehat Ibnu Taimiyah
Syikhul Islam –rahimahullah- mengatakan: “Perpecahan umat yang telah menimpa para ulama, para masyayikh, umara’, serta para pembesarnya merupakan penyebab berkuasanya musuh atas mereka. Dan itu disebabkan karena mereka telah meninggalkan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya…”
Di tempat lain dijelaskan, bahwa Allah berfirman:”Dan hendaklah ada dari antara kamu satu golongan yang mengajak kepada kebaikan dan menyeru kepada hal yang ma’ruf serta melarang hal yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” Ibnu Taimiyah mengatakan:”Amar ma’ruf adalah memerintahkan untuk bersatu dan berkumpul adapun nahi mungkar adalah menegakkan hudud dengan Syari’at Allah.” (Lihat, Majmu’ah Al Fatawa, vol. 3, hal. 259).
Maka, marilah kita rapatkan shaff, kikis rasa ta’ashub pada diri kita, juga prasangka buruk terhadap yang lain, juga perasaan bahwa diri kita selalu dalam kebenaran dan yang lain selalu berada dalam kebathilan, juga klaim bahwa hanya kita yang memahami dien sedangakan yang lain hanyalah juhala’ yang tidak perlu didengarkan. Wallahu’alam bishowab.*

sumber: http://www.hidayatullah.com/read/2013/07/07/5319/ikhtilaf-dalam-masalah-ijtihad.html
Load disqus comments

0 komentar