Minggu, 15 November 2015

Berjuang dengan Pena dan Senjata

Oleh: Asma Nadia


Saya mendapat hadiah sebuah buku baru yang sengaja diterbitkan untuk memperingati Hari Pahlawan.
Buku tersebut ditulis seorang lelaki tentang ayahnya, Moch. Achijat, yang dikenal sebagai salah satu aktor penting di balik tewasnya Jenderal Mallaby di pertempuran Surabaya. Tahun 1976, dalam usia 48 tahun, Moch. Achijat meninggal akibat kecelakaan dan dimakamkan di taman makam pahlawan Ngagel Surabaya.

Yang menarik dari buku ini adalah, sumber data  berasal--salah satunya--dari sebuah buku catatan kecil bersampul kulit kambing yang selalu dibawa sang pejuang selama masa gerilya. Buku harian ini ditemukan setelah istri Moch. Achijat meninggal,  2013, pada usia 80 tahun. Sebuah kotak kenangan menyimpan rapi catatan sejarah yang belum banyak terungkap, selama puluhan tahun sebelum akhirnya ditemukan.

Moch. Achijat adalah komandan Pasukan Alap-Alap. Ia memiliki hubungan  dekat dengan Bung Tomo dan Pak Yasin (pendiri Brimob).

Dalam buku kecilmya ia mencatat banyak hal, sebagian ditulis menggunakan   bahasa sandi. Di sana  tertulis nama-nama anggota pasukan elit yang dipimpinnya, lengkap dengan data nama orang tua mereka. Detail sederhana yang menunjukkan bahwa setiap anggota sudah siap mempertaruhkan nyawa, dan ketika mereka menemui ajal maka  anggota lain akan menyampaikan kabar duka ke orang tua yang bersangkutan.

Bahkan nama anggota Pasukan Alap-Alap tertera lengkap dengan spesialisasi yang mereka miliki. Ada sniper (penembak jitu) yang selain memiliki kemampuan menembak, juga andal  merakit dan merekayasa senjata. Terdapat pula pasukan khusus penyamaran, pengintaian, dan penyusupan. Tidak ketinggalan pasukan pelucutan/perampasan senjata, peluru, dan logistik musuh.

Tidak sembarang orang dapat bergabung dengan Pasukan Alap-alap Simokerto. Hanya orang-orang tertentu. Pada zaman sekarang mereka tak ubahnya pasukan elit militer. “Bisa bergabung dengan pasukan elite ini merupakan kebanggaan dan prestise tersendiri,” aku Pak Buhari, salah satu anggota pasukan siluman tersebut.

Pasukan Alap-Alap terdiri dari beragam latar belakang. Selain arek Suraboyo, ada anggota yang keturunan Cina, ada dua orang mantan anggota Gurka, bahkan  ada  beberapa orang Ambon mantan tentara KNIL. Pasukan ini banyak terlibat perang di garis depan, salah satunya pertempuran di depan gedung Internatio yang akhirnya menewaskan Jenderal Mallaby.

Sepak terjang pasukan yang dipimpin Achijat mungkin akan mudah terhapus sejarah seandainya tidak ada dokumentasi yang dibuatnya dalam buku kecil bersampul bahan kulit kambing. Kiprahnya pun tak bergema sepanjang buku itu disimpan  lebih dari setengah abad.

Dan sebenarnya banyak peran pahlawan lain yang  sejarah perjuangannya menguap sempurna hanya karena tidak ada catatan tentang mereka, atau tidak ada yang menuliskan kisahnya. Mencatat dan menulis, tidak kalah penting dari perjuangan mengangkat senjata itu sendiri.

Perjuangan di masa lalu yang tidak tercatat, tidak meninggalkan warisan pembelajaran bagi generasi sesudahnya. Lebih dari itu, kekuatan pena bukan mustahil bisa lebih kuat dari senjata.

Anne Frank hanya satu dari begitu banyak gadis kecil  yang ketakutan dan bersembunyi untuk menghindari penangkapan Nazi. Tapi kini rumah persembunyiannya menjadi salah satu museum yang paling ramai dikunjungi di Amsterdam. Semata karena ia menuliskan kehidupannya di buku harian selama bersembunyi. Buku harian yang kini dijadikan sebagai salah satu bukti sejarah kekejaman Nazi terhadap Yahudi.

Charles Darwin mengubah peta ilmu pengetahuan dan agama dimulai dengan tulisan. Ia awalnya mencatat dan menggambar semua hewan yang dilihatnya di berbagai wilayah. Lalu membuat kesimpulan dari semua catatannya. Karyanya menafikan penciptaan Tuhan. Sekalipun membuat kesimpulan salah, apa yang didokumentasikannya  telah  memperkuat atheisme dan sekularisme di dunia.

Kong Hu Chu menjadi filusuf yang paling mengakar di Cina juga karena kebiasaan mencatat. Ia menuliskan apa yang ada dalam pikiran, hati dan semua yang  dialaminya. Berkas catatannya menjadi gulungan kertas penuh dengan ilmu dan kebijakan yang kemudian diajarkan turun-temurun hingga menjadi tuntunan bagi masyarat Cina di masa lalu.

Baru-baru ini di Den Haag diadakan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) yang mencari keadilan bagi korban pembantaian massal 1965. Jika saja semua ulama, santri, dan pejuang mencatat lengkap daftar korban kekejaman PKI di Indonesia, maka sidang nonformal tersebut akan memiliki sumber lain, dan tidak sepihak hingga mengarah pada kesimpulan berbeda.

Karena itu, berjuang dan abadikan dalam tulisan. Sebab hanya dengan demikian semangat dan prosesnya terus menjadi cahaya bagi generasi sesudahnya.

Sumber: rol.co.id


Load disqus comments

0 komentar