Rabu, 08 Januari 2014

Buya Hamka, Masjumi dan Perang Melawan Korupsi


KORUPSI yang dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa sudah sejak lama menjadi sorotan di negeri ini. Terutama pejabat negara yang berasal dari partai politik. Hari ini kita menyaksikan, pejabat yang berasal dari partai politik seolah menjadi lumbung uang untuk mencari dana bagi pendanaan partai.
Keberadaannya di pemerintahan seolah dituntut untuk menjadi mesin pengeruk uang. Tak peduli halal dan haram, yang penting lumbung partai terpenuhi dengan pundi-pundi rupiah. Partai yang harusnya menjadikan basis massa sebagai kekuatan politik, berubah mengedepankan uang. Tujuannya agar suara rakyat bisa dibeli, apalagi menjelang Pemilu.
Fenomena ini ternyata sudah sejak lama terjadi. Buya Hamka, salah seorang tokoh Partai Masjumi yang terpilih menjadi anggota Majelis Konstituante pada Pemilu tahun 1955, mengeritik cara-cara yang dilakukan oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI), rival politik Masjumi, yang mengedepankan uang sebagai kekuatan politik. Dalam tulisannya di MajalahHikmah, No.10 Thn IX, 5 Sya’ban 1374 H/17 Maret 1956, ulama asal Sumatera Barat ini mengungkapkan cara-cara kotor yang dilakukan oleh partai politik sekular yang ingin merebut simpati rakyat.
Kekuatan Partai Masjumi yang mampu memenangkan Pemilu di beberapa wilayah pada tahun 1955, dan  banyak mendapatkan kursi di parlemen, membuat lawan-lawan politiknyaketar-ketir untuk menghadapi Pemilu berikutnya pada tahun 1960. Meskipun akhirnya, Pemilu tahun itu tidak dapat terlaksana, setelah Soekarno secara sepihak mengajukan gagasan “Demokrasi Terpimpin” dan berniat mengubur partai-partai yang ada.
Hamka mengatakan dalam tulisannya, “Plan (rencana, pen) utama rupanya bagaimana supaya Masjumi dapat dikalahkan dalam pemilihan umum. Partai-partai yang berkuasa itu, terutama PNI insjaf bahwa kekuatan mereka tidak besar pada massa.  Oleh sebab itu, uang mesti ditjari sebanjak-banjaknya untuk biaja pemilihan umum. Kalau perlu dari mana sadjapun uang itu ditjari. Halal atau haram bukan soal: ‘lil ghayati tubarrirul wasilah’ (untuk mentjapai maksud boleh dipakai sembarang tjara),” terang Hamka.
Hamka kemudian mengungkap adanya upaya dari partai yang berkuasa dengan menjadikan para anggotanya yang menjabat dalam pemerintahan, untuk melakukan korupsi demi memenuhi keuangan partai.
“Di waktu itulah terdengarnja ‘lisensi istimewa’ korupsi besar-besaran. Mr. Ishak, seorang djago PNI mendjadi menteri keuangan. Hebatlah nasib jang diderita rakjat pada waktu itu. Benarlah mendjadi menteri mendjadi sumber kekayaan jang tidak halal! Banjak kita melihat orang kaja baru! Dia mendapat ‘lisensi istimewa’ itu didjualnya kepada asing!” ujarnya.
Ia kemudian menceritakan, “Setelah kabinent Burhanudin naik, maka program yang pertama adalah memberantas korupsi! Mr Djodi dituntut, dan Mr. Ishak “menjingkir” atau disuruh “menjingkirkan” keluar negeri,” kata Hamka, sambil menyebut Kabinet Burhanudin Harahap yang berasal dari dari Partai Masjumi, bertekad memerangi korupsi. Mr. Djodi dan Mr. Ishak yang dimaksud adalah aktivis partai sekular PNI.
Dengan kritik yang cukup keras, Hamka yang melihat praktik kecurangan sebelumnya, saat kabinet belum berada di bawah kendali Partai Masjumi, menyatakan bahwa partai yang berkuasa sebelumnya menjadikan kekuasaan untuk mengeruk uang bagi pendanaan partainya.
“Dengan serba matjam djalan, uang negara diperas! Dengan kedok “ekonomi nasional” orang-orang diandjurkan mendirikan firma, N.V (perusahaan), dan diberi lisensi. Keuntungannya sekian buat partai.”
Apa yang disampaikan oleh ulama penulis  Tafsir Al-Azhar ini puluhan tahun lalu, seperti terulang kembali pada saat ini. Aparat penegak hukum menciduk tokoh-tokoh partai politik yang terlibat kong-kalikong dengan pengusaha.
Partai dijadikan sarana untuk jual beli lisensi, jual beli izin usaha, izin ekspor-impor, pemenangan proyek atau tender, dan sebagainya, yang ujung-ujungnya memeras pengusaha untuk memberikan suap.
Uang suap itu kemudian ada  yang dicurigai  dijadikan basis pendanaan partai demi memenangkan Pemilu.  Politik tak lagi menjadikan basis massa sebagai kekuatan, tetapi menjadikan uang sebagai alat untuk meraih kemenangan.
Suatu ketika, kata Buya Hamka, ia bertemu dengan perwakilan negara asing di Jakarta. Kepada Hamka, orang itu bertanya tentang dari mana sumber dana Partai Masjumi, sehingga mampu meraup suara yang cukup besar pada Pemilu 1955. Orang asing itu menduga Partai Masjumi mendapat pendanaan dari luar negeri.
Kepada orang itu, Buya Hamka mengatakan, selama ini pendanaan Masjumi berasal dari dana pribadi para anggota dan simpatisannya.
“Memeras kantong sendiri, mendjual menggadaikan harta bendanja,” ujar Hamka menceritakan bagaimana para kader dan simpatisan Masjumi mendanai partai.
Orang asing itu kaget, karena selama ini yang ia tahu, partai-partai besar, jika tak mendapat dana asing, maka kemungkinan lainnya adalah menggunakan para kadernya yang ada di lingkar elit kekuasaan sebagai mesin pengeruk uang.
Demikianlah keteladanan yang ditorehkan oleh Partai Masjumi dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Partai Islam tersebut mampu mengepankan cara-cara halal dalam politik, bukan menghalalkan segala cara. Bagi Partai Masjumi, kekuatan terbesar partai politik adalah pada basis massa, pada kader yang solid, bukan pada uang!*
Penulis adalah editor Pustaka Al-Kautsar dan dosen STID Mohammad Natsir Jakarta

Load disqus comments

0 komentar