Sabtu, 30 Maret 2013

Transaksi Ribawi

Penipuan berkedok investasi, MLM hingga perjalanan umroh dan haji sangat marak dan terus saja berlangsung. Yang paling mengerikan penipuan itu menggunakan atribut syariah, bahkan ada yang lulus sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lihatlah kasus Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) dan yang terbaru penipuan yang dilakukan oleh Iqro Management. Memang bisa saja transaksi yang terjadi masih dalam batas halal baru kemudian terjadi penipuan. Namun bagaimana jika label syariah atau kehalalan yang dijadikan brand usaha hanya upaya menarik minat masyarakat untuk mengikutinya alias abal-abal. Sepertinya inilah yang terjadi dalam berbagai kasus penipuan atas nama investasi syariah dalam berbagai bentuk. Nyatanya sejak awal sudah tidak syariah. Kata kunci untuk membedakan investasi syariah atau tidak adalah riba. Dalam QS Al Baqoroh 275 diterangkan bahwa Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Artinya terdapat perbedaan yang jelas yang mudah dikenali antara riba dan bukan riba. Saat ini investasi berlabel syariah yang ditawarkan berbagai lembaga menawarkan tingkat keuntungan yang besar , prosentase tetap dan ditentukan di awal. Tujuan diterapkannya tingkat keuntungan itu adalah agar investor, agen, nasabah atau downline semakin tertarik dan mantap untuk bergabung. Tingkat keuntungan yang ditawarkanpun diistilahkan dengan berbagai nama yang cukup menarik. Namun yang pasti tingkat keuntungan itu pasti lebih tinggi dari tingkat bunga di Bank Konvensional, padahal dalam beberapa promonya mereka memperjuangkan ekonomi syariah agar terbebas dari riba yang terjadi di bank konvensional. Keuntungan besar memang bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam, justru keuntungan itu harus diraih sebesar-besarnya. Namun jika keuntungan sudah bisa dipastikan di awal dengan nilai yang pasti maka kehalalan sebuah transaksi sangat layak untuk dipertanyakan. Sebab Islam melarang jual beli dengan system ijon, karena hanya berdasarkan perkiraan keuntungan yang belum tentu terjadi. Beginilah Islam mengatur transaksi yang adil tanpa menghilangkan keyakinan pada Allah SWT yang akan menentukan tingkat keuntungan atau bahkan kerugian yang akan berlangsung. Maka dalam konsep ekonomi syariah dikenal istilah bagi hasil, yaitu keuntungan atau kerugian yang dibagi jika sudah diketahui nilainya sesuai yang telah terjadi berdasarkan perjanjian atau akad. Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah bubble economic growth, pertumbuhan ekonomi seperti balon yang terus menggelembung kemudian pecah dan tidak menghasilkan apapun. Inilah yang terjadi pada investasi riba. Tingkat keuntungan yang tinggi dan diyakini kepastiannya, menarik minat banyak orang untuk masuk kedalamnya. Semakin banyak yang masuk, tentu saja meningkatkan nilai investasi yang berlangsung yang harus diimbangi dengan pemberian keuntungan yang besar dan tetap sebagaimana pernyataandi awal. Padahal belum tentu investasi yang besar itu mampu menghasilkan kegiatan ekonomi yang nyata dilakukan semacam mendirikan pabrik, sangat mungkin akhirnya uang itu beredar di investasi maya semacam jual beli mata uang atau saham yang sifatnya spekulatif yang tidak berbeda dengan judi. Jika hal itu terjadi maka transaksi riil (uang langsung ditukar dengan barang atau jasa) akan berkurang yang akhirnya mempengaruhi nilai uang dan tingkat daya beli masyarakat, padahal seharusnya uang hanyalah alat tukar yang mempermudah untuk mendapatkan kebutuhan yang kemudian mampu meningkatkan produktifitas manusia. Ataupun jika uang yang didapatkan dari investasi banyak orang itu mampu ditanamkan semuanya di sektor riil (membuka pabrik, bengkel, usaha jasa, dll) belum tentu juga akan selalu menghasilkan keuntungan. Jika terjadi kerugian yang sangat mungkin terjadi, akhirnya akan menimbulkan masalah pengembalian yang nilainya berlipat karena adanya tingkat keuntungan besar yang dijanjikan.

Akhirnya masyarakat sendiri yang harus bisa menilai sebuah transaksi apakah riba atau tidak. Islam menempatkan riba sebagai dosa besar yang pasti mudah untuk dilihat yang kemudian mampu dihindari semampunya. Namun seharusnya dalam mengambil pertimbangansebuah transaksi atau investasi bukanlah sekedar melihat adanya penipuan atau tidak, kehalalan dari transaksi itulah yang justru paling penting.

Oleh: M Anantyo W
Kontributor Kompasiana

Published with Blogger-droid v2.0.10
Load disqus comments

0 komentar