Sabtu, 16 Februari 2013

DIPLOMASI SAPI

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha
“Mau tidak mau ya harus kerja sama,” suara
SBY demikian tegas. Australia sudah
ketinggalan langkah dari Indonesia. Selama
ini, negeri itu menikmati dagang sapi ke
Indonesia. SBY mencatat, sekitar 43 persen
ekspor sapi mereka ke Indonesia. Jumlah
yang sangat besar. Namun, majalah The
Economist mencatat bahwa ekspor sapi
mereka ke Indonesia mencapai 80 persen.
Hampir dua kali lipat dari angka yang
dikemukakan SBY. Nilainya sekitar 318 juta
dolar AS.
Kendati hubungan Indonesia-Australia naik
turun, namun bisnis Australia di Indonesia
aman-aman saja. Sapi hanya salah satunya.
Lainnya mereka berdagang susu, sayuran,
buahbuahan, dan sebagainya. Padahal,
mereka sangat intimidatif. Misalnya, dalam
buku putihnya, mereka menyebut adanya
bahaya dari utara. Tentu maksudnya
Indonesia. Polah Australia dalam
menyelesaikan Timor Timur juga membuat
Indonesia dipermalukan. Media-media
Australia juga sangat stereo tip terhadap
Indonesia.
Namun, ekspor sapi mereka ke Indonesia
lancar-lancar saja. Dari 2005 ke 2009,
ekspor sapi mereka ke Indonesia naik enam
kali lipat. Pada 2009, Indonesia mengimpor
773 ribu ekor sapi. Secara total, Indonesia
membutuhkan sekitar 1,5 juta ekor sapi per
tahun. Ketergantungan yang tinggi terhadap
Australia ini menyadarkan Indonesia harus
berbenah. Kedaulatan dan kemandirian
pangan merupakan hal mutlak. Karena itu,
sejak 2009, Indonesia mencanangkan
swasembada sapi.
Impor daging beku dikurangi. Demikian pula
impor sapi hidup. Indonesia mulai
menerapkan kuota impor. Akibatnya, pada
2010, ekspor sapi Australia ke Indonesia
turun 30 persen. Jika rencana Indonesia
berjalan mulus maka peternak sapi Australia
akan hancur. “Mereka sangat marah,”
seperti ditulis The Economist. Namun,
Indonesia jalan terus. Pada 2011, menteri
pertanian Indonesia mematok kuota impor
sapi 500 ribu ekor saja. Australia makin
menjerit. Media media Australia bahkan
membuat liputan khusus tentang praktik
penyembelihan sapi di Indonesia yang
mereka sebut tak “ welfare animal”.
Seperti biasa: intimidatif. Mereka menuntut
penghentian ekspor sapi hidup. Tentu
maksudnya agar kita impor daging beku.
Nilai tambahnya bisa meningkat. Mulai Juni
2011, mereka sempat menghentikan ekspor
sapi utuh. Indonesia mengabaikan tekanan
dan penghentian sementara itu. Mereka
lupa bahwa konsumsi daging sapi di
Indonesia masih tergolong rendah. Masih
tujuh kilogram per kapita per tahun. Jauh
dibandingkan dengan negara-negara maju
yang sudah mencapai 20 kg per kapita per
tahun. Tanpa makan daging sapi pun tak
soal. Indonesia tetap jalan terus dengan
program swasembada sapi.
Tekanan itu bisa dilalui dengan mulus.
Akhirnya, mereka membuka lagi keran
ekspor sapi hidupnya. Tapi, Indonesia
sudah makin bergerak maju. Tahun ini,
Indonesia menggelontorkan Rp 450 miliar
untuk kemandirian sapi. Namun, SBY tetap
berbaik hati. Sekitar satu tahun setelah
tindakan Australia menghentikan ekspor
sapi hidupnya, SBY datang ke Darwin
bertemu Julia Gillard, perdana menteri
Australia, awal Juli ini. Ia menawarkan jalan
keluar: peternak Australia membuka
peternakan di Indonesia.
SBY mengingatkan bahwa konsumsi daging
sapi Indonesia perkapita akan terus
meningkat. Ini seiring naiknya kesejahteraan
dan bertambahnya kelas menengah. Tapi,
belum ada jawaban konkret. Itulah
mengapa SBY menyatakan harus mau
bekerja sama. Jika tidak mau, mereka makin
ketinggalan langkah. Apalagi, peternak Brasil
justru telah menyatakan minatnya, bahkan
sudah berkomitmen. Karena, sebelum ke
Australia, SBY sudah lebih dulu ke Brasil.
Negeri sepakbola itu juga dikenal sebagai
penghasil sapi.
Setelah dari Darwin, SBY langsung ke
Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara
Timur. Dia meninjau langsung peternakan
sapi di wilayah sabana tersebut. Ia bahkan
meminta difoto khusus dengan latar
belakang ribuan sapi. Program
pengembangan peternakan sapi berjalan
mulus. Menteri Pertanian Suswono
menyampaikan bahwa populasi sapi saat ini
sudah mencapai 800 ribu. Masih jauh
dibandingkan jumlah sapi di Australia yang
mencapai 23,3 juta ekor sapi potong.
Kendati ada kemajuan, Indonesia masih
jauh dari mandiri. Apalagi, jika tingkat
konsumsinya meningkat. Yang paling
penting adalah pengembangan riset,
kedokteran hewan, dan pembibitan. Hal ini
justru yang menjadi tulang punggung
ketahanan industri sapi. Ini yang harus
segera mendapat porsi besar.

Load disqus comments

0 komentar