Senin, 11 Mei 2015

Rahasia 10 Keindangan Sastra Kitab Suci Al-Qur’an

Bagi orang beriman, setiap yang terdapat dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah mukjizat secara mutlak. Mulai dari kandungan makna sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (shalih li kulli zaman wa makan).

Pun berbagai mukjizat tersebut ada dalam setiap pemilihan kalimat, kata, bahkan pada setiap huruf al-Qur’an sekalipun.

Untuk itu, Abu al-Hayyan al-Andalusi, penulis Tafsir al-Bahru al-Muhith fi at-Tafsir,sebagaimana dinukil oleh Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni, secara khusus menerangkan keindahan sastra kitab suci al-Qur’an dari sisi ilmu Bayan. Berikut penjelasannya:

Kesatu : Pembukaan dan awal yang indah (husnu al-iftitah wa bara’ah al-mathla’). Tak lain karena surah al-Fatihah diawali oleh lafadz “bismillah”. Nama Allah yang agung yang setiap Muslim patut memohon berkah nama tersebut dengan senantiasa melafadzkan nama-Nya

Kedua : Pujian yang sempurna kepada Allah (al-mubalaghah fi ats-tsana). Hal itu tampak dari penggunaaan huruf alim lam (makrifah) pada kata “al-hamdu”. Oleh Abu al-Hayyan, pujian tersebut dengan sendirinya meredupkan bahkan melenyapkan seluruh yang lain di luar Sang Khaliq.

Ketiga : Variasi khithab (talwin al-khithab). Sepintas redaksi kalimat “al-hamdu lillahi” adalah uslub khabar (pernyataan) yang berarti segala puji bagi Allah. Namun, dengan kehalusan bahasa al-Qur’an, justru ia sejatinya dimaknai sebagai perintah dan kewajiban atas setiap hamba untuk memperbanyak pujian dan syukur kepada Allah.

Keempat : Makna al-ikhtishash (pengkhususan). Hal itu ditandai dengan adanya huruf alim lam pada kata “lillahi” yang bermakna seluruh pujian itu hanya bisa dipunyai oleh Allah dan tak ada yang berhak memilikinya selain Allah.

Kelima : Adanya al-hazf (penghapusan sebagian kata). Dalam hal ini terdapat pada kata “shirath” dalam firman Allah “ghairi al-maghdhubi alaihim wa la adh-dhallin”. Sebenarnya secara asal, kalimat itu berbunyi begini: “ghairi shirath al-maghdhubi alaihim” bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan “ghairi shirath adh-dhallin” bukan jalan orang-orang yang tersesat (tetap menyebutkan kata shirath (jalan) itu).

Keenam : Terdapat taqdim (mengedepankan) dan ta’khir (mengakhirkan). Hal ini terjadi dalam ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Sebab asalnya kalimat itu bisa disederhanakan seperti ini saja, “na’budu iyyaka wa nasta’inu iyyaka.”. Keindahan bahasa yang sama terjadi di ayat “ghairi al-maghdhubi alaihim wa la adh-dhallin”.

Ketujuh : Menjelaskan apa yang sebelumnya tersamar (at-tashrih ba’da al-ibham). Kehalusan bahasa tersebut bisa dinikmati dalam ayat “ihdina ash-shirath al-mustaqim, shirath al-ladzina an’amta alaihim”. Di mana makna jalan yang lurus itu (ash-shirath al-mustaqim) dijelaskan dengan kalimat berikutnya, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat (shirath al-ladzina an’amta alaihim)

Kedelapan : Menarik fokus dan perhatian (al-iltifat). Sensasi bahasa yang sangat halus ini bisa dirasakan pada ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Bahwa (benar-benar) hanya kepada-Mu kami menyembah dan (benar-benar) hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.

Kesembilan : Meminta sesuatu tanpa bermaksud untuk mendapatkannya, tetapi semata memohon kelanjutan dan eksistensi hal tersebut. Contohnya terdapat dalam ayat “ihdina ash-shirath al-mustaqim”. Bahwa ketika seorang hamba memohon dalam doa tersebut, bukan berarti ia belum memiliki hidayah dan tidak mengetahui jalan lurus tersebut. Tapi ia berdoa agar hidayah tersebut senantiasa bersemi dalam hatinya dan ia mampu menapaki jalan lurus yang telah membentang di hadapannya itu.

Kesepuluh : Adanya keselarasan yang indah pada setiap akhir kata. Hal tersebut bisa dinikmati dalam kalimat “ar-rahman ar-rahim” dengan “ash-shirath al-mustaqim”. Bisa dikata kedua kalimat tersebut sama-sama berakhiran bunyi “im”.*/Masykur Abu Jaulah

sumber: www.hidayatullah.com


Load disqus comments

0 komentar