Selasa, 21 April 2015

KARTINI MASA KINI DALAM KANCAH POLITIK

Di era yang serba modern ini hal yang sering kita dengar terkait perempuan adalah kesetaraan gender. Impian akan terciptanya kesetaraan baik dalam bidang sipil dan politik maupun ekonomi, sosial dan budaya muncul karena dorongan untuk berperan dalam membangun lingkungannya. Yang lebih hangat lg adalah pembicaraan mengenai partisipasi perempuan dalam perpolitikan di Indonesia. Sudah menjadi rahasia bersama bahwa keterwakilan perempuan pada pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif sangat minim dan nyaris memprihatinkan.

Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa peran perempuan dalam kancah Politik dalam kondisi darurat. Keadaan tersebut bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi itulah kondisi yang saat ini sedang kita alami, bayangkan saja berapa orang perempuan yang tergabung dalam keanggota MPR? Berapa orang perempuan yang duduk dalam kementerian saat ini? Dan yang lebih memprihatinkan kita tengoklah dalam bidang yudikatif, hanya ada satu hakim perempuan.

Namun stop paradigma berpikir seperti itu. Jangan batasi ruang lingkup Politik hanya pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Jangan sampai kata politik senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi, tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, tuntutan independensi hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), karena dalam logika mereka, besarnya akses dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter, yaitu aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan.

Pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan.Jika dicermati, keyakinan bahwa persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis, sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalistik yang kini mendominasi kultur masyarakat kita dengan prinsip ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Sehingga ide pemberdayaan peran politik perempuan dalam kacamata demokrasi selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di elit kekuasaan.

Sebenarnya dalam pandangan Islam, perempuan—disamping sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami, serta anak dari ayah-bundanya—adalah bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam masyarakat.

Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum.

Akan tetapi pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik menyangkut aspek negara maupun umat.

Ustadz Hasan al-Banna menyatakan bahwa Definisi politik sebagai pemeliharaan urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah) ini dapat diambil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, di antaranya sebagaimana dituturkan Hudzayfah r.a., Rasululloh SaW bersabda (yang artinya):“Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka.” (HR ath-Thabrani).

Oleh: Elynawati, Aleg PKS


Load disqus comments

0 komentar