Selasa, 14 Mei 2013

Opa-opa Belanda Tak Jengah Kuliah S3


Benjamin Bronsema (78), jika tak ada aral melintang, bakal mempertahankan disertasinya mengenai AC tanpa ventilator di Technische Universiteit Delft, Belanda, 7 Juni 2013 mendatang. Menurut Bronsema, penyejuk udara di gedung-gedung perkantoran dapat beroperasi hanya menggunakan kombinasi tenaga air, matahari, dan angin. Penyejuk udara kreasi Bronsema bekerja tanpa listrik atau generator berbahan bakar bensin. Pendek kata, lebih ramah lingkungan.
1368477877408595816
Benjamin Bronsema. Foto: screenshot YouTube
‘Kakek gaek’ ini tengah mencari gedung perkantoran untuk menguji instalasi AC eco-friendly temuannya yang diberi nama Earth, Wind & Fire. Saya bukan anak teknik, tapi bagi Kompasianers yang tertarik cara kerjanya bisa klik di sini. Teoretis, AC yang memanfaatkan tenaga mirip air terjun ini berfungsi optimal sewaktu dicoba di laboratorium. Namun, proof of the pudding masih harus dilakukan. Barangkali, gedung di Jakarta bersedia jadi kelinci percobaan. Hehe
Karena AC ‘alami’ ini berbentuk seperti menara, Bronsema perlu gedung perkantoran atau apartemen minimal berlantai lima. Selain itu, letaknya harus strategis dan tak langsung dihalangi oleh bangunan lain. Angin dan sinar matahari harus dapat bergerak bebas. Bronsema menggarisbawahi efisiensi dan penghematan enerji serta listrik melalui AC hasil risetnya. Ia pun menekankan polusi udara dan penyebaran bakteri dalam ruangan melalui AC berventilator konvensional.
Mungkin Anda akan berpikir, “Negara dingin seperti Belanda buat apa pasang AC?” AC itu kependekanair conditioning. Jadi, AC di negara empat musim kebanyakan multi fungsi: sewaktu panas menyengat berfungsi menyejukkan ruangan dan sebaliknya saat hawa dingin menyergap justru menghangatkan kamar. Di samping itu, sepengetahuan saya, AC juga ikut menetralisir atau ‘menyaring’ bakteri di udara dalam gedung atau perumahan.
Nah, kembali ke ‘opa’ Bronsema, saya salut karena di usia senja ia masih gigih  kuliah dan tak mau kalah dengan generasi muda penerusnya. Belakangan, manula di Belanda sering jadi bulan-bulanan. Mengapa? Karena 25% dari 17 juta jiwa penduduk Belanda termasuk kategori lansia. Golongan 60+ ini biasanya pensiunan dan lebih senang leyeh-leyeh di rumah atau keliling dunia menikmati hari tua jika tabungan pensiun memungkinkan.
Masalahnya, orang Belanda berusia produktiflah yang membayar tunjangan hari tua ‘golongan sepuh’ ini. Pendapatan generasi muda ‘dipotong’ tiap bulan untuk membiayai ‘foya-foya kelompok bau tanah’ ini. Apalagi, ditambah krismon di Eropa, generasi usia kerja di Belanda mesti makin rela dipangkas jatah gajinya alias solider membantu sesama di negara-negara anggota Uni Eropa yang sedang tepar ekonominya. Tambah manyun deh. Haha
Saya kagum sebab Bronsema mengikis stereotipe ini. Mengintip profil di LinkedIn-nya, ia masih aktif di perusahaan konsultan teknik miliknya. Oya, karena penghematan pada banyak sektor di Belanda, angka pengangguran beberapa tahun terakhir boleh dibilang lumayan tinggi. Acapkali, setelah reorganisasi perusahaan berimbas PHK, pegawai berusia 50+ sulit segera mendapat pekerjaan. “Sudah kadaluwarsa!” kata rekan-rekan di kantor saya.
Bronsema sekaligus menepis anggapan ini. Ia membuktikan, usia senja bukan penghalang tetap eksis berkarier. Tak ada lagi istilah uzur, over the date atau outdated. Bisa jadi, ini pelajaran berharga pula buat kita, ada baiknya tak lagi melecehkan generasi ‘bangkotan’ yang kerap dicap kuno atau ketinggalan zaman. Sebaliknya, bagi generasi muda, langkah Bronsema bisa menginspirasi. Jangan pernah beranggapan terlambat untuk belajar. Ada kemauan, ada jalan!
Selamat berkarya, Meneer Bronsema!

Load disqus comments

0 komentar